Blogger Widgets Indonesia SmallBiz Community: February 2013 -->

Media Dialog Komunitas 'Small Business' Indonesia

Franchise Syari'ah, kenapa tidak?

Konsep Franchise yang berkembang sekarang ini sebenarnya cukup bagus, namun nuansa kapitalis masih sangat terasa. Selain itu, juga cenderung lebih menguntungkan Franchisor dan cenderung lebih merugikan franchisee.

Secara umum, dalam konsep Franchise biasanya franchisor akan mengenakan kepada franchisee beberapa hal, yaitu: franchise fee & royalty fee.

Franchise fee biasanya dibebankan ke franchisee untuk jangka waktu tertentu (biasanya 5 tahun). Sedangkan royalty fee biasanya dihitung dari omset penjualan.

Menurut saya, di sini terdapat ketidakadilan. Mengapa? Karena penerapan franchise fee berarti franchisor sudah mengambil untung di depan, sedangkan usaha belum berjalan.
Penghitungan royalty fee dari omset penjualan juga mencerminkan ketidakadilan, karena berarti si franchisor tidak menanggung risiko. Walaupun usaha tersebut rugi, sepanjang ada penjualan, franchisor tetap dapat royalty.

Padahal dalam ekonomi Islam kita diajarkan agar selalu menerapkan & menegakkan keadilan dalam berbisnis.


Konsep franchise berkembang karena di satu sisi ada pengusaha yang sudah berhasil dalam menjalankan bisnisnya, tetapi kekurangan modal untuk mengembangkan lebih besar lagi. Dan di sisi lain ada pihak yang memiliki modal, tetapi belum/tidak memiliki pengalaman atau keahlian dalam berbisnis di bidang tersebut.
Disinilah dua kepentingan itu bertemu dan bersinergi...

Wacana Etika Bisnis dalam Islam

Perbincangan tentang 'etika bisnis' di sebagian besar paradigma pemikiran pebisnis terasa kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri) atau oxymoron ; mana mungkin ada bisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling tidak) "bertangan kotor". 

Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila "beretika" maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian masyarakat yang nir normatif dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.

Begitu kuatnya oxymoron itu, muncul istilah business ethics atau ethics in business. Sekitar dasawarsa 1960-an, istilah itu di Amerika Serikat menjadi bahan controversial. Orang boleh saja berbeda pendapat mengenai kondisi moral lingkungan bisnis tertentu dari waktu ke waktu. Tetapi agaknya kontroversi ini bukanya berkembang ke arah yang produktif, tapi malah semakin menjurus ke suasana debat kusir.

Wacana tentang  nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah banyak digulirkan dalam masyarakat ekonomi sejak memasuki abad modern, sebut saja misalnya, Max weber dalam karyanya yang terkenal, The Religion Ethic and the Spirit Capitaism, meneliti tentang bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi kekuatan pendorong bagi tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian Amerika.

Walaupun  di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi sebaliknya sebagaimana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of China: Confucianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa etika konfusius adalah salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau yang lebih menarik barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and The Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya weber yang terakhir.

Di sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang etika usaha (bisnis) itu akan banyak membawa manfaat: yang bisa dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah dalam hal ini di masyarakat Islam. Tetapi studi empiris ini bukannya sama sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika dalam ilmu ini mengambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi positivistis), maka temuan hasil setudi netral itu sepertinya kebal terhadap penilaian-penilaian etis.

Menarik untuk di soroti adalah bagaimana dan adakah konsep Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islami adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah konsepi hubungan manusia dengan mansuia, lingkungannya serta manusai dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas).

Dengan kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta.

Etika Islam Tentang Bisnis
Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tetntang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas).

Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga"  (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tisak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.

Ribakah yang Saya Bayar?

Assalamualaikum wr. wb. Saya membeli sebuah kios disuatu pertokoan yang sedang dibangun dan akan selesai dalam beberapa bulan lagi. Penjual memberi harga (misalnya) Rp 100.000, - Pembayarannya boleh dicicil selama sekian waktu. Namun bila saya bermaksud membayar kontan, maka diberi potongan 10%. 

Pertanyaannya, apakah jual-beli bangunan yang belum jadi sama dengan jual-beli 'ijon'? (maaf kalau salah istilah, maksud saya seperti membeli buah/padi yang belum panen)
Dan apakah jual-beli ini mengandung unsur riba? Apabila hal ini dilarang agama, apa yang harussaya lakukan apabila sudah terlanjurmembayar dengan memilih cara mencicil?
Wassalamualaikum wr. wb.

Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kalau Anda bertanya apakah sistem ini dinamakan ijon atau bukan, wah terus terang kami tidak tahu. Sebab istilah ijon itu istilah yang tidak baku. Dan dalam sistem syariah Islam, kita tidak mengenal istilah itu.

Tapi kalau pertanyaannya, apakah cara demikian boleh dan halal, maka barulah kami akan jawab. Tapi sebelumnya, perkenankan kami membuat beberapa perbandingan terlebih dahulu.

Kehalalan Mencicil Harga
Mencicil harga suatu benda yang dibeli hukumnya jelas boleh. Sebab yang namanya akad jual beli itu tetap sah meski pembayaran belum langsung lunas. Pembayaran boleh dilakukan tunai, dan juga boleh dilakukan secara angsuran alias cicilan.

Dan dalam beberapa bentuk akad transaksi, pembayaran dalam bentuk cicilan memang sangat mutlak dan penting. Bahkan terkadang justru untuk kepentingan pihak penjual sendiri.
Yang penting ketika akad, pilihan untuk membayar tunai atau cicilan, harus sudah dijatuhkan. Agar tidak terjadi kerancuan dalam sistem akadnya.

Kehalalan Menjual Dengan Harga Berbeda
Di sisi lain, hukum Islam juga membolehkan penjualan harga barang yang berbeda-beda untuk tiap waktu. Kadang harga tinggi, tapi kadang harga turun.

Dan urusan menaikkan atau menurunkan harga ini adalah hak pedagang. Dan selama pembelinya rela dan sepakat dengan harga yang ditawarkan pedagang, sehingga timbul kesepakatan harga yang disebut dengan istilah 'an-taradhin', dari kedua belah pihak, maka akad itu halal.

Perbandingannya begini, misalnya Anda menjual bahan kebutuhan pokok. Tentu harga itu akan berbeda tiap harinya. Kadang naik dan kadang turun. Apalagi menjelang liburan Idul Fitri, biasanya harga-harga kebutuhan pokok bergerak naik.

Harga Total Cicilan Lebih Tinggi
Dari dua kehalalan di atas, maka juga dibolehkan untuk menggabungkan keduanya. Dihalalkan untuk membedakan nilai harga jual antara bila pembayaran dilakukan kontan dan pembayaran dilakukaan dengan cara cicilan.

Asalkan dengan satu syarat, yaitu nilai total harga hatus ditetapkan di awal dan tidak boleh berubah lagi. Anda harus memilih satu dari dua pilihan harga pembayaran, dan otomatis juga harus memilih salah satu cara, apakah mau tunai atau mau cicilan.

Dalam pembelian kios Anda tadi, ada dua penawaran yang harus anda pilih salah satunya. Pilihan pertama, harganya Rp 100 ribu, pembayarannya boleh dicicil beberapa kali, hingga nilainya mencapai Rp100 ribu.

Lalu ada pilihan kedua yang harganya Rp 90 ribu, tapi syaratnya harus dibayar tunai di awal. Berarti hemat 10% persen seperti yang anda sebutkan.

Maka akad jual beli ini halal hukumnya, selama Anda menetapan salah satu pilihan. Dan selama anda menghindari terjadinya riba. Riba bisa terjadi seandainya nilai harga beli kios itu semakin bertambah terus kalau tidak lunas-lunas. Pada saat itu yang terjadi adalah riba yang diharamkan Allah SWT.
Wassalamualaikum wr. wb.

Jual Beli dengan Dua Harga dalam Islam

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya membuka kios pupuk. Modal untuk 1 karung pupuk adalah Rp 70.000 s/d Rp 115.000 Dalam 1 karung pupuk (dengan pembelian kontan) saya mendapatkan keuntungan Rp1.500 s/d Rp 6.500. Mayoritas transaksi dalam perdagangan kami adalah sistem kontan. Namun, ada sebagian kecil petani menginginkan sistem bayar panen, artinya mereka ambil dahulu pupuknya kemudian bayarnya setelah mereka panen (tempo 3-4 bulan).

Yang ingin saya tanyakan, bolehkah bagi saya untuk menerapkan sistem dua harga? Misalnya, bila bayar panen (tempo) harga sekian, yang tentu saja harga tempo lebih besar daripada harga kontan, karena bila kami menerapkan harga sama maka (dalam perhitungan bisnis) jelas kami merugi. Mohon solusi dan jawabnnya, Ustad.

Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarakatuh.

Jual Beli Dua Harga
Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluaga, dan sahabatnya. Bapak Tri Widodo, semoga Allah memberkahi usaha Bapak dan menjaga Bapak dan keluarga Bapak.

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum menjual barang dengan dua harga, kontan sekian kredit sekian. Akan tetapi, pendapat yang paling kuat dalam masalah ini ialah pendapat yang membolehkannya. Kesimpulan ini berdasarkan kepada beberapa alasan berikut:

Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Q.S. al-Baqoroh: 282)

Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktik hutang piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk htuang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.

Dalil kedua: Hadits riwayat Aisyah,

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran terhutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (HR. Al-Bukhori: 1990 dan MuslimL 1603)

Pada hadits ini, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran terhutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian, hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual beli dengan pembayaran terhutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual beli dengan pembayaran terhutang.

Dalil ketiga: hadits Abdullah bin Amr bin al-Ash: 

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kami tidak memiliki tunggangan dengan pembayaran tertunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amr (bin al-Ash) pun atas perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membeli setiap ekor unta dengan harga dua ekor unta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya pernaikan zakat.” (HR. Ahmad 2/171, Abu Dawud: 3359, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil: 1258)

Pada kisah ini, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada sahabat Abdulloh bin Amr bin al-Ash untuk membeli setiap ekor unta dengan harga dua ekor unta secara pembayaran terhutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela denagn harga yang begitu mahal (200%) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barnag karena pembayaran yang tertunda (terhutang).

Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual beli dengan pemesanan)
Di antara bentuk perniagaan yang diizinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan hukum transaksi ini, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam hanya bersabda,

“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari: 2124 dan Muslim 1604).

Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaidah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaidah ini, para ulama menyatakan bahwa selama tidak ada dalil yang shohih dan tega yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal dilakukan.

Bila Anda bertanya perihal sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berikut;

“Barang siapa yang menjual dua penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil kalau tidak maka ia telah teratuh ke dalam riba.” (HR. Abu Dawud: 3463).

Maka ketahuilah bahwa penafsirannya yang paling tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya, bahwa makna hadits ini adalah larangan berjual beli dengan cara inah. 

Jual beli inah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Lima Fakta Ekonomi Indonesia Versi Bayu Krisnamurthi

Saat membuka acara Simposium Nasional "Ekonomi Kopi" di Universitas Jember, Kamis, 8 November 2012, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi melontarkan lima fakta yang menurut dia bisa menunjukkan kondisi ekonomi Indonesia. "Saya menyebutnya "lima angka lima" yang patut kita cermati dalam dinamika ekonomi kita," katanya.

Bayu Krisnamurthi, Wamen Perdagangan
 Pertama, menurut Bayu, ada 50 juta orang Indonesia yang diidentifikasi sebagai anggota kelas konsumen. Mereka adalah orang-orang yang memiliki daya beli hingga Rp 20 juta per bulan untuk segala macam kebutuhan hidup, seperti makanan, minuman, dan barang-barang fashion

Mereka selalu mencari dan membeli beragam barang dengan pertimbangan kebutuhan, kualitas, pelayanan, dan gengsi. "Kelompok ini besarnya dua kali Malaysia, dua kali Australia, dan sepuluh kali Singapura," katanya.

Kedua, ada Rp 5.000 triliun uang yang dipakai warga membeli kebutuhan sandang, pangan, dan papan setiap tahun. Sekitar Rp 3.000 triliun dipakai membeli makanan dan minuman. "Mereka tidak mau monoton, selalu ingin mencoba yang baru," katanya.

Ketiga, ada 53 persen penduduk Indonesia yang tinggal di kota. Mayoritas dari mereka adalah konsumen, bukan produsen pangan. Keempat, ada 52 kota di Indonesia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi-sosial yang tinggi. "Di Jawa Timur, yang termasuk adalah Malang, Kediri, Jember, Banyuwangi, dan Blitar. Kota kedua yang menjadi sasaran pasar dunia," katanya.

Kelima, ada 54 jenis barang yang menjadi fokus kebutuhan rakyat Indonesia. Yang dominan, kata Bayu, adalah kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan kosmetik.

"Lima angka itu menjadi indikasi penting akan begitu besarnya potensi pasar Indonesia yang terus diburu produsen dari luar negeri. Dan ini yang harus kita benahi agar bisa memperkuat ekonomi, salah satunya menekan impor,"kata dia.

Indonesia, kata Bayu, perlu menumbuhkan industri intermediate atau industri bahan dan bahan penolong agar angka impor tak lagi besar. Apalagi saat ini impor bahan baku lebih besar daripada impor barang konsumsi. "Pertumbuhan impor barang konsumsi kita hanya 0,6 persen. Tapi pertumbuhan impor bahan baku dan bahan penolong mencapai 10-15 persen," katanya.

Kondisi itu berarti masyarakat Indonesia sudah mulai bergeser, dari menggunakan barang konsumsi impor ke barang produksi dalam negeri. Namun, tren positif ini tidak diikuti tren serupa dalam proses produksi. (dbs)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...